This article is published in Mading Eksternal BOE. This one invoked controvercies b'cos relating to a religion and senstitivity. Anyway, I don't care since I think they just read this with their emotions not with their brains. I'm just trying to analyse conditions in fasting month.
Bulan Ramadhan telah datang pada bulan September ini dan seluruh umat Islam menyambutnya dengan sukacita, karena menurut ajaran agama mereka, bulan ini adalah bulan suci sebab merupakan bulan dimana dosa-dosa mereka dapat diampuni sebelum lebaran tiba, kalau saya tidak salah. Selama satu bulan penuh mereka menjalankan ibadah puasa, menahan lapar, haus, berpikiran kotor, jahat, merokok, dll. Ketika bulan ini tiba berarti segala sesuatu yang berbau godaan mengenai kelaparan, kehausan, pikiran kotor, dll, harus dihapuskan dari bumi Indonesia, yang memang seperti itulah kenyataannya.
Segala sesuatunya nampaknya dirasakan sudah merupakan keharusan dan norma yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Warung-warung makan ditutupi dengan gorden agar tidak ada yang melihat makanan tersebut dan membatalkan puasanya, bila ada yang tidak menutupinya akan terkena amuk massa atau para aparat kepolisian yang datang dengan gagahnya bersiap untuk menghancurkan warung makan tersebut atas nama ketaatan beragama, tanpa peduli alasan mengapa mereka berjualan, bahwa pemiliknya akan kehilangan mata pencahariannya yang mungkin untuk waktu yang sangat panjang.
Padahal, mungkin saja banyak orang beragama non-muslim yang tidak mengetahui arti dari gorden yang menutupi makanan bukan berarti rumah makan tersebut tutup. Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, apakah muslimin dan muslimah sendiri takut tergoda dengan semuanya itu? Bukankah lebih baik membiarkan saja orang-orang tersebut leluasa menjalankan usahanya? Bukankah dengan begitu turut memberikan nafkah bagi mereka, lagipula bukankah di bulan puasa ini katanya tidak boleh tidur melulu untuk menghindari rasa lapar, yang menurut saya memiliki esensi bahwa kita harus melakukan sesuatu yang seperti biasanya kita lakukan? Lalu kenapa mereka dilarang berjualan atas nama pahala yang akan didapatkan bila menjalankan puasa dengan baik dan benar, lagipula bila mereka tidak tergoda akan semuanya itu, bukannya lebih mendapatkan ’perhatian’ dari Allah?
Eksternalitas negatif
Apa yang saya tangkap dari datangnya bulan Ramadhan ini adalah kebebasan yang seakan-akan terbabat habis bagi pihak ketiga yang tentu saja merugikan mereka dan mengakibatkan eksternalitas negatif bagi orang tersebut. Saya sangat setuju dengan toleransi beragama, namun dengan melarang orang berjualan dan menghancurkannya tanpa ba-bi-bu, atau memukuli orang yang mungkin terlihat sengaja merokok di depan perokok yang sedang menjalani ibadah puasa bukan cara yang tepat.
Kalau warung makan ada yang dihancurkan karena tidak menutupi tempatnya , saya belum pernah mendengar atau melihat perempuan yang ditelanjangi karena berpakaian seronok. Untung saja perempuan-perempuan yang memakai baju atau celana ketat dan atau rok mini tidak dilarang atau ditelanjangi di depan umum, sebab secara analogi dengan rumah makan yang dihancurkan, seharusnya yang berpakaian seronok menurut mereka ditelanjangi juga tanpa mereka sempat berkata satu kata apapun. Kalau ini terjadi saya tidak bisa membayangkan seberapa besar social cost yang akan ditanggung dan terjadi kerugian yang sangat besar dalam masyarakat.
Front Pengkhianat Islam (FPI)
Saya tidak terlalu resah dengan kejadian penghancuran warung makan dan pelarangan orang yang merokok di depan umum, yang memicu keresahan saya yang terbesar adalah mereka yang mengaku-ngaku sebagai sekumpulan orang pembela Islam yang nampaknya senang sekali dan bangga bisa menghancurkan tempat-tempat hiburan malam sambil menenteng alat pemukul dan perusak lainnya. Mereka seringkali menimbulkan kerusuhan dan mengancam keselamatan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Mengapa saya sebut FPI sebagai pengkhianat Islam? Mereka secara tidak langsung, sebab mereka mungkin tidak tahu arti ajaran agama Islam yang sesungguhnya, telah megkhianati ajaran agama mereka sendiri yang mengharuskan mereka saling mengasihi satu sama lain (setidaknya inilah yang saya tahu). Saya tidak merasa kasihan kepada pemilik tempat hiburan, meskipun kasusnya sejenis dengan pengrusakan rumah makan, karena selain mereka relatif jauh lebih kaya dan sebagian besar melakukan praktik penyuapan, namun saya lebih merasa kasihan terhadap umat muslim lainnya yang seakan-akan mendapatkan persepsi bahwa membela Islam harus seperti itu. Mereka yang tidak bisa menerima stigma umat muslim sebagai teroris, nampaknya harus tertunduk malu karena bantahan mereka tidak beralasan bila melihat apa yang dilakukan oleh FPI. Teror menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah perbuatan yang sewenang-wenang (kejam, bengis, dsb) ; usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Mereka yang melakukan teror disebut teroris. FPI menurut saya cocok menyandang gelar tersebut dan secara tidak langsung umat Islam turut merasakan getah dari stigma tersebut.
Toleransi beragama ≠ pemaksaan
Di awal-awal tulisan secara implisit terlihat bahwa saya mendukung rumah makan yang tidak menutupi makanannya dengan gorden. Bukan itu maksud saya. Apa yang saya tekankan dalam kalimat-kalimat tersebut adalah saya tidak setuju dengan pemaksaan toleransi beragama dengan cara seperti itu. Biarkan saja ada rumah makan yang seperti itu sebab saya percaya dengan Marx yang mengatakan “eksistensi sosial menentukan eksistensi indiviual” dan bukan sebaliknya, sehingga pemilik rumah makan tersebut yang berada di lingkungan yang di dalamnya terdapat rumah makan yang menutupi makanannya dengan gorden akan berpikir untuk melakukan hal yang sama.
Tulisan ini tidak bermaksud menghina umat Islam ataupun menjelek-jelekkan bulan Ramadhan. Akhir kata, bagi teman-teman yang menjalankan ibadah puasa, selamat menjalankan ibadah puasa dengan baik dan benar.
Segala sesuatunya nampaknya dirasakan sudah merupakan keharusan dan norma yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Warung-warung makan ditutupi dengan gorden agar tidak ada yang melihat makanan tersebut dan membatalkan puasanya, bila ada yang tidak menutupinya akan terkena amuk massa atau para aparat kepolisian yang datang dengan gagahnya bersiap untuk menghancurkan warung makan tersebut atas nama ketaatan beragama, tanpa peduli alasan mengapa mereka berjualan, bahwa pemiliknya akan kehilangan mata pencahariannya yang mungkin untuk waktu yang sangat panjang.
Padahal, mungkin saja banyak orang beragama non-muslim yang tidak mengetahui arti dari gorden yang menutupi makanan bukan berarti rumah makan tersebut tutup. Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, apakah muslimin dan muslimah sendiri takut tergoda dengan semuanya itu? Bukankah lebih baik membiarkan saja orang-orang tersebut leluasa menjalankan usahanya? Bukankah dengan begitu turut memberikan nafkah bagi mereka, lagipula bukankah di bulan puasa ini katanya tidak boleh tidur melulu untuk menghindari rasa lapar, yang menurut saya memiliki esensi bahwa kita harus melakukan sesuatu yang seperti biasanya kita lakukan? Lalu kenapa mereka dilarang berjualan atas nama pahala yang akan didapatkan bila menjalankan puasa dengan baik dan benar, lagipula bila mereka tidak tergoda akan semuanya itu, bukannya lebih mendapatkan ’perhatian’ dari Allah?
Eksternalitas negatif
Apa yang saya tangkap dari datangnya bulan Ramadhan ini adalah kebebasan yang seakan-akan terbabat habis bagi pihak ketiga yang tentu saja merugikan mereka dan mengakibatkan eksternalitas negatif bagi orang tersebut. Saya sangat setuju dengan toleransi beragama, namun dengan melarang orang berjualan dan menghancurkannya tanpa ba-bi-bu, atau memukuli orang yang mungkin terlihat sengaja merokok di depan perokok yang sedang menjalani ibadah puasa bukan cara yang tepat.
Kalau warung makan ada yang dihancurkan karena tidak menutupi tempatnya , saya belum pernah mendengar atau melihat perempuan yang ditelanjangi karena berpakaian seronok. Untung saja perempuan-perempuan yang memakai baju atau celana ketat dan atau rok mini tidak dilarang atau ditelanjangi di depan umum, sebab secara analogi dengan rumah makan yang dihancurkan, seharusnya yang berpakaian seronok menurut mereka ditelanjangi juga tanpa mereka sempat berkata satu kata apapun. Kalau ini terjadi saya tidak bisa membayangkan seberapa besar social cost yang akan ditanggung dan terjadi kerugian yang sangat besar dalam masyarakat.
Front Pengkhianat Islam (FPI)
Saya tidak terlalu resah dengan kejadian penghancuran warung makan dan pelarangan orang yang merokok di depan umum, yang memicu keresahan saya yang terbesar adalah mereka yang mengaku-ngaku sebagai sekumpulan orang pembela Islam yang nampaknya senang sekali dan bangga bisa menghancurkan tempat-tempat hiburan malam sambil menenteng alat pemukul dan perusak lainnya. Mereka seringkali menimbulkan kerusuhan dan mengancam keselamatan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Mengapa saya sebut FPI sebagai pengkhianat Islam? Mereka secara tidak langsung, sebab mereka mungkin tidak tahu arti ajaran agama Islam yang sesungguhnya, telah megkhianati ajaran agama mereka sendiri yang mengharuskan mereka saling mengasihi satu sama lain (setidaknya inilah yang saya tahu). Saya tidak merasa kasihan kepada pemilik tempat hiburan, meskipun kasusnya sejenis dengan pengrusakan rumah makan, karena selain mereka relatif jauh lebih kaya dan sebagian besar melakukan praktik penyuapan, namun saya lebih merasa kasihan terhadap umat muslim lainnya yang seakan-akan mendapatkan persepsi bahwa membela Islam harus seperti itu. Mereka yang tidak bisa menerima stigma umat muslim sebagai teroris, nampaknya harus tertunduk malu karena bantahan mereka tidak beralasan bila melihat apa yang dilakukan oleh FPI. Teror menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah perbuatan yang sewenang-wenang (kejam, bengis, dsb) ; usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Mereka yang melakukan teror disebut teroris. FPI menurut saya cocok menyandang gelar tersebut dan secara tidak langsung umat Islam turut merasakan getah dari stigma tersebut.
Toleransi beragama ≠ pemaksaan
Di awal-awal tulisan secara implisit terlihat bahwa saya mendukung rumah makan yang tidak menutupi makanannya dengan gorden. Bukan itu maksud saya. Apa yang saya tekankan dalam kalimat-kalimat tersebut adalah saya tidak setuju dengan pemaksaan toleransi beragama dengan cara seperti itu. Biarkan saja ada rumah makan yang seperti itu sebab saya percaya dengan Marx yang mengatakan “eksistensi sosial menentukan eksistensi indiviual” dan bukan sebaliknya, sehingga pemilik rumah makan tersebut yang berada di lingkungan yang di dalamnya terdapat rumah makan yang menutupi makanannya dengan gorden akan berpikir untuk melakukan hal yang sama.
Tulisan ini tidak bermaksud menghina umat Islam ataupun menjelek-jelekkan bulan Ramadhan. Akhir kata, bagi teman-teman yang menjalankan ibadah puasa, selamat menjalankan ibadah puasa dengan baik dan benar.
No comments:
Post a Comment