Wednesday, December 26, 2007

“Yeah, I am able to wander more anywhere I want to go”, says one of ‘honored’ DPR representatives - (at the very least this is what my imagination tol

Reading a ‘tale’, if I may use this term to refer to news conveying a rise in DPR ‘perjalanan dinas’ fund. Waking up from bed on 10:05 (bad habit of holiday) and then started taking breakfast accompanied by reading newspaper, I was staggered, but unfortunately the usual one, on a 30 percent rise of ‘dana perjalanan dinas’ DPR from 2006. For the year 2007, budget for ‘perjalanan dinas’ is Rp 214.7 billion, while in 2006 it was ‘just’ Rp 189.1 billion rising 120 percent from 2005. In 2005, the budget was ‘just-just’ Rp 81.9 billion.

This huge budget would be fine if offset by a rise in productivity too, but DPR has only been able to accomplish about 93 RUU from 284 RUU targeted (hah?!)

I just wonder how can they be so ignorant and self-centered when our beloved country is still trapped in multidimensional crisis. Huh..I just can say this hell information has just ruined my day.. Damn!

Peeping Through The Veil of Poverty

A few days ago, on December 20th specifically, me and a friend of mine, Azionk, sometimes he would refer himself as Adi, went to one of most famous malls in northern Jakarta. We got a lot of courage and willingness to go through a pouring rain just to see our friend who has just got a job at Oakley.

At a parking lot, my friend asked me if I perceive Indonesia as a rich country or not, looking at cars and expensive motorcycles taking a ‘rest’ at mall’s parking lot. Well, if a foreigner who arrives in Indonesia and lives near this mall just for a week, I think he would consider Indonesia as one of developed countries and he will not see some traces of economic crisis then.

However, I said gently to Azionk that I would not perceive Indonesia to have escaped perceptions of developing country since those are just a part of Indonesian, Jakartanese for more specific term. That was a simple answer yet obvious one, I think.

Sunday, November 11, 2007

Apakah mereka akan menjadi pemimpin besar?

Selama tiga hari, tanggal 9-11 November 2007 yang lalu, pusgerak BEM UI, dimana saya juga ikut bergabung sebagai staf kastrat, menyelenggarakan acara LKSM, sebuah acara yang ditujukan untuk mempersiapkan pemimpin masa depan yang hebat dan kritis. Di sana para peserta tidak hanya mendengarkan materi dari berbagai pembicara yang sudah terkenal akan kekritisannya dan kekayaan wawasannya, tetapi juga mengekspresikan opininya.

Akan tetapi, ada sebuah even yang mengejutkan saya, karena saya mengasumsikan mereka sebagai mahasiswa yang berbeda dari mahasiswa lain, yaitu ketika waktu makan siang tiba. Ketika itu tiba giliran saya setelah antrian yang tidak cukup panjang, namun betapa terkejutnya saya karena kerupuk sudah habis, padahal saya dan beberapa teman saya belum makan, sedangkan di saat yang sama saya melihat kerupuk yang berlebihan di piring para peserta. Saya jadi berpikir, apa artinya mereka bercuap-cuap mengenai nasionalisme kebangsaan, kepedulian terhadap rakyat kecil, dsb., apabila untuk kerupuk saja mereka tidak bisa berbagi dengan saudaranya sendiri yang sudah jelas di depan mata?

Selain itu, mereka juga gemar untuk memperkuat stigma orang Indonesia yang suka jam karet, sebab mereka suka sekali telat menghadiri setiap sesinya, mulai dari 5 hingga 45 menit, karena berbagai alasan, mulai dari yang paling masuk akal sampai yang paling tidak masuk akal. Apakah mereka benar-benar dapat diharapkan untuk menjadi pemimpin masa depan bangsa ini? Well, rasa pesimis saya mengatakan bahwa 'saya rasa mereka sama saja dengan para pejabat kita yang hanya gemar berwacana tapi tidak melakukan apa-apa, NATO' Namun, rasa optimis saya mengatakan bahwa 'saya rasa mereka baru menjalani perjalanan panjang untuk menjadi pemimpin yang hebat, layaknya seorang bayi yang baru lahir pasti tidak bisa langsunt berjalan, bukan?'

Above all, saya memiliki asa yang besar bahwa di UI ini masih terdapat setidaknya mahasiswa yang rela menghabiskan waktunya untuk berdiskusi semacam ini, yang mungkin bagi sebagian besar lainnya hanya merupakan tertawaan belaka.

Friday, October 19, 2007

Independency is the Most Precious Thing in the World

Perhaps when we were kids, we used to listen to what our parents told to do, such as, never forget to brush your teeth before going to bed, not to make friends who are jerks (for them), to study minimum 3 hours per day, to take piano lessons, etc. When we have been growing up, we usually make our dos’ and don’ts.

If you take a glance on those things, you must find yourself very proud if you can be a very good boy, since by doing so, which are generally assumed to be very useful, you can practice yourself real world in the future. However, look into the deep of the idea behind those things, which I think not very well understood by most people, that is to make yourself as though you’re a junkie. I think by always trying to be consistent with those rules, you will let yourself fall in a dependency, though positive one, but dependent is dependent. Period! When you don’t do what it tells, you find yourself guilty and start blaming yourself, then the result you will get might be
much worse off.

Have you ever thought why crazy people, on our views, look very happy? I think because they feel fully free to do anything they want without ever thinking what others might comment. One of the principles of neoclassical economics tells us that these people have exogeneous preferences. The moral message behind this is not to ‘mengharamkan’ you make such rules, I actually suggest you to write down self-disclipinary rules instead. But what I wanna suggest here is that when you are not on the mood to do those things just let it go, since by doing so you might feel what the real life is. Life is all about independency! As Plato said, “do what you consider is right thing to do”. As for me, independency is the most precious thing in the world, not even money can beat it! So, be fully independent!

Thursday, October 11, 2007

Keresahan yang Selalu Datang

This article is published in Mading Eksternal BOE. This one invoked controvercies b'cos relating to a religion and senstitivity. Anyway, I don't care since I think they just read this with their emotions not with their brains. I'm just trying to analyse conditions in fasting month.
Bulan Ramadhan telah datang pada bulan September ini dan seluruh umat Islam menyambutnya dengan sukacita, karena menurut ajaran agama mereka, bulan ini adalah bulan suci sebab merupakan bulan dimana dosa-dosa mereka dapat diampuni sebelum lebaran tiba, kalau saya tidak salah. Selama satu bulan penuh mereka menjalankan ibadah puasa, menahan lapar, haus, berpikiran kotor, jahat, merokok, dll. Ketika bulan ini tiba berarti segala sesuatu yang berbau godaan mengenai kelaparan, kehausan, pikiran kotor, dll, harus dihapuskan dari bumi Indonesia, yang memang seperti itulah kenyataannya.
Segala sesuatunya nampaknya dirasakan sudah merupakan keharusan dan norma yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Warung-warung makan ditutupi dengan gorden agar tidak ada yang melihat makanan tersebut dan membatalkan puasanya, bila ada yang tidak menutupinya akan terkena amuk massa atau para aparat kepolisian yang datang dengan gagahnya bersiap untuk menghancurkan warung makan tersebut atas nama ketaatan beragama, tanpa peduli alasan mengapa mereka berjualan, bahwa pemiliknya akan kehilangan mata pencahariannya yang mungkin untuk waktu yang sangat panjang.
Padahal, mungkin saja banyak orang beragama non-muslim yang tidak mengetahui arti dari gorden yang menutupi makanan bukan berarti rumah makan tersebut tutup. Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, apakah muslimin dan muslimah sendiri takut tergoda dengan semuanya itu? Bukankah lebih baik membiarkan saja orang-orang tersebut leluasa menjalankan usahanya? Bukankah dengan begitu turut memberikan nafkah bagi mereka, lagipula bukankah di bulan puasa ini katanya tidak boleh tidur melulu untuk menghindari rasa lapar, yang menurut saya memiliki esensi bahwa kita harus melakukan sesuatu yang seperti biasanya kita lakukan? Lalu kenapa mereka dilarang berjualan atas nama pahala yang akan didapatkan bila menjalankan puasa dengan baik dan benar, lagipula bila mereka tidak tergoda akan semuanya itu, bukannya lebih mendapatkan ’perhatian’ dari Allah?

Eksternalitas negatif
Apa yang saya tangkap dari datangnya bulan Ramadhan ini adalah kebebasan yang seakan-akan terbabat habis bagi pihak ketiga yang tentu saja merugikan mereka dan mengakibatkan eksternalitas negatif bagi orang tersebut. Saya sangat setuju dengan toleransi beragama, namun dengan melarang orang berjualan dan menghancurkannya tanpa ba-bi-bu, atau memukuli orang yang mungkin terlihat sengaja merokok di depan perokok yang sedang menjalani ibadah puasa bukan cara yang tepat.
Kalau warung makan ada yang dihancurkan karena tidak menutupi tempatnya , saya belum pernah mendengar atau melihat perempuan yang ditelanjangi karena berpakaian seronok. Untung saja perempuan-perempuan yang memakai baju atau celana ketat dan atau rok mini tidak dilarang atau ditelanjangi di depan umum, sebab secara analogi dengan rumah makan yang dihancurkan, seharusnya yang berpakaian seronok menurut mereka ditelanjangi juga tanpa mereka sempat berkata satu kata apapun. Kalau ini terjadi saya tidak bisa membayangkan seberapa besar social cost yang akan ditanggung dan terjadi kerugian yang sangat besar dalam masyarakat.

Front Pengkhianat Islam (FPI)
Saya tidak terlalu resah dengan kejadian penghancuran warung makan dan pelarangan orang yang merokok di depan umum, yang memicu keresahan saya yang terbesar adalah mereka yang mengaku-ngaku sebagai sekumpulan orang pembela Islam yang nampaknya senang sekali dan bangga bisa menghancurkan tempat-tempat hiburan malam sambil menenteng alat pemukul dan perusak lainnya. Mereka seringkali menimbulkan kerusuhan dan mengancam keselamatan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Mengapa saya sebut FPI sebagai pengkhianat Islam? Mereka secara tidak langsung, sebab mereka mungkin tidak tahu arti ajaran agama Islam yang sesungguhnya, telah megkhianati ajaran agama mereka sendiri yang mengharuskan mereka saling mengasihi satu sama lain (setidaknya inilah yang saya tahu). Saya tidak merasa kasihan kepada pemilik tempat hiburan, meskipun kasusnya sejenis dengan pengrusakan rumah makan, karena selain mereka relatif jauh lebih kaya dan sebagian besar melakukan praktik penyuapan, namun saya lebih merasa kasihan terhadap umat muslim lainnya yang seakan-akan mendapatkan persepsi bahwa membela Islam harus seperti itu. Mereka yang tidak bisa menerima stigma umat muslim sebagai teroris, nampaknya harus tertunduk malu karena bantahan mereka tidak beralasan bila melihat apa yang dilakukan oleh FPI. Teror menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah perbuatan yang sewenang-wenang (kejam, bengis, dsb) ; usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Mereka yang melakukan teror disebut teroris. FPI menurut saya cocok menyandang gelar tersebut dan secara tidak langsung umat Islam turut merasakan getah dari stigma tersebut.

Toleransi beragama ≠ pemaksaan
Di awal-awal tulisan secara implisit terlihat bahwa saya mendukung rumah makan yang tidak menutupi makanannya dengan gorden. Bukan itu maksud saya. Apa yang saya tekankan dalam kalimat-kalimat tersebut adalah saya tidak setuju dengan pemaksaan toleransi beragama dengan cara seperti itu. Biarkan saja ada rumah makan yang seperti itu sebab saya percaya dengan Marx yang mengatakan “eksistensi sosial menentukan eksistensi indiviual” dan bukan sebaliknya, sehingga pemilik rumah makan tersebut yang berada di lingkungan yang di dalamnya terdapat rumah makan yang menutupi makanannya dengan gorden akan berpikir untuk melakukan hal yang sama.
Tulisan ini tidak bermaksud menghina umat Islam ataupun menjelek-jelekkan bulan Ramadhan. Akhir kata, bagi teman-teman yang menjalankan ibadah puasa, selamat menjalankan ibadah puasa dengan baik dan benar.

Eat as Your Tongue Wants to Eat or Eat as the Others Eat?

I always wonder if I have to eat a plate of a fifty thousand rupiah-beef steak accompanied by a glass of twenty five thousand rupiah-juice, a cup of ice cream, a piece of cake, etc. in a luxurious restaurant spending hundreds rupiahs without ever thinking about what others, especially homeless, jobless, moneyless people, eat or to eat as simple as I can take thereby I consider what others feel.
Pro argument to think about others when eating says that you should be tolerant to others suffering from not being able to eat proper food in proper frequency. The money you spend should not be used just to spoil your tongue itself.
Con argument says that oh c’mon, don’t be so stupid that you feel that you can ease their suffering by doing such thing because if they are in your shoes they would also do the same thing. Moreover, the dough that you save can’t be directly delivered to them as well, so why don’t you just indulge yourself?
However, what I believe is that by not eating as what my tongue says would be appropriate because I have sympathy to them. This kind of deed would apply to others activities, such as partying in an excessive way. What about you?

Wednesday, October 3, 2007

Pendekatan Sinis terhadap Pembangunan Jakarta

“Politicians attempt to build a bridge, while there is no river”
-Nikita Kruschev-


Here is my article posted on Mading eksternal BOE. It's about pesimism of development of
Jakarta, even with the new governor

Memasuki awal bulan Agustus, tepatnya tanggal 8 Agustus, penduduk kota Jakarta akan dihadapi dengan pesta demokrasi terbesar di Ibukota Indonesia ini. Mereka akan memilih gubernur beserta wakil gubernurnya. Mereka yang akan memilih pastilah berharap bahwa gubernur terpilih akan berbuat sesuatu yang lebih baik lagi bagi pembangunan kota Jakarta, terutama dalam mengatasi banjir dan pendidikan murah bahkan gratis. Saya sendiri sebetulnya selain mengharapkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau bahkan kalau bisa gratis, juga berharap agar gubernur DKI Jakarta yang baru nanti dapat melakukan pemerataan pembangunan dengan memperhatikan slump areas yang berada di tengah-tengah kota, yang berada di belakang gedung-gedung bertingkat dan berpendingin udara, yang berada di belakang kompleks perumahan elit. Kenapa? Karena saya merasa bahwa DKI Jakarta melangkah terlalu cepat dari yang seharusnya. Sungguh ironi ketika kita melihat perumahan kumuh di belakang mal-mal dan ketika kita melihat penduduk yang terpinggirkan dari kota Jakarta itu sedang mandi dan gosok gigi di kali yang juga digunakan untuk mencuci baju.
The bridge is in your dream
Berharap sih boleh saja, tetapi jangan berharap terlalu banyak karena kalau tidak terjadi akan sakit hati sendiri, bukankah begitu yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari? Kutipan dari Nikita Kruschev setidaknya mengingatkan kita bahwa sesungguhnya hampir sebagian besar politisi hanya mengeluarkan janji-janji surga, tetapi perbuatannya membuat kita seperti berada di neraka. Well, mungkin kata-kata saya berlebihan, tetapi saya rasa itu memang sering terjadi di Indonesia, sehingga saya merasa bahwa kutipan tersebut sangat relevan menjelang pilkada Jakarta bulan Agustus nanti.
Jika nanti gubernur terpilih nanti benar-benar melakukan apa yang dijanjikannya, namun tidak sepenuhnya, maka kita harus waspada bahwa separuh janji yang telah dilaksanakannya itu hanyalah untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Menurut saya, kita harus sungguh-sungguh memperhatikan apa yang mereka lakukan terhadap pendidikan dan kesejahteraan orang kecil. Jangan sampai kita melihat lagi sekolah yang digusur oleh karena wilayah tempat sekolah itu berdiri merupakan wilayah bisnis dan pemda DKI merasa bahwa opportunity cost-nya terlalu besar hanya untuk membangun sebuah sekolah.
Sepertinya saya terlalu pesimis terhadap kedua calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) yang akan bertarung nanti. Tetapi, saya rasa pesimisme yang saya utarakan ini tidak terlalu berlebihan karena tiga alasan. Pertama dan yang utama, saya tidak melihat bahwa kedua calon gubernur, yaitu Fauzi Bowo dan Adang Darajatun melakukan sesuatu yang sangat berarti terhadap Jakarta sebelum masa pemerintahan Sutiyoso berakhir atau sebelumnya (mungkin saya dan semoga salah). Oleh sebab itu, seringkali saya tertawa geli jika melihat mereka mengunjungi atau menyumbangkan sesuatu bagi rakyat kecil. Tetapi, mungkin saja mereka melakukan sesuatu yang berguna dan signifikan terhadap Jakarta tercinta, namun tidak diliput media. Yah, hitung-hitung mengurangi kadar pesimisme saya.
Alasan kedua adalah mereka takut terhadap dan tidak mendukung calon independen. Ini menunjukkan sportivitas mereka yang buruk. Banyak penduduk Jakarta sangat menyayangkan dan kecewa ketika mereka langsung mendaftarkan diri ke KPUD Jakarta ketika proses tuntutan agar calon independen diperbolehkan ikut serta dalam pilkada masih berlangsung. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa mereka takut terhadap calon independen jika mereka yakin bahwa mereka memiliki dukungan kuat dari penduduk Jakarta? Memang secara logika akan lebih baik jika memiliki lebih sedikit saingan, namun saya rasa jawaban yang tepat adalah mereka khawatir bahwa penduduk Jakarta yang sudah muak dengan partai politik akan lebih memilih calon independen, terbukti berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh LSI, yaitu bahwa penduduk Jakarta sekitar 59% lebih menginginkan calon independen, apalagi diantara calon independen tersebut terdapat seorang pengamat ekonomi yang sudah dikenal sebagai orang yang bersih dan jujur.
Yang terakhir adalah kesenangan mereka melakukan berbagai pelanggaran terhadap peraturan kampanye, baik yang tertulis maupun tidak. Mereka melakukan pawai dalam kampanye, padahal itu melanggar perda DKI Jakarta dan mereka juga melakukan black campaign terhadap lawannya masing-masing.
Semoga tidak terjadi!
Terdapat alasan yang kuat mengapa, menurut saya, mereka tidak akan terlalu bersemangat untuk mengembangkan dan menyejahterakan rakyat kecil yang umumnya tidak memilki tingkat pendidikan yang tinggi, yaitu sebab “in general the higher the education and intelligence of individual becomes, the more their views and tastes are differentiated amd the less likely they are to agree on a particular hierarchy of values,” (Hayek, 1944). Akan tetapi, saya yakin teman-teman juga berharap seperti saya bahwa ini tidak akan terjadi dan program pendidikan murah yang sudah dilaksanakan pada masa pemerintahan Gubernur Sutiyoso akan terus dilanjutkan agar nantinya mereka yang tadinya tidak dapat sekolah karena mahalnya biaya pendidikan akan dapat menjadi pintar dan handal agar mereka mendapatkan pekerjaan yang layak dan tidak menjadi pengangguran yang dapat memaksa mereka menjadi penjahat atau pengemis.
Penutup
Meskipun kedua cagub yang sekarang kurang meyakinkan berdasarkan ketiga alasan yang saya kemukakan, namun kita tidak boleh apatis sebab jika kita apatis mereka bisa menjelma menjadi suatu pemerintahan yang cenderung otoriter. Kita harus tetap mengontrol dan memastikan bahwa mereka tidak akan lagi menggusur para pedagang kaki lima tanpa memberikan lahan dagangan yang baru, membangun mal-mal tanpa memberdayakan daya beli (purchasing power) dan kesejahteraan masyarakat kecil.
Tulisan ini tidak bermaksud mengajak teman-teman memilih cagub tertentu, mendiskreditkan calon tertentu, atau menyerukan golput dalam pilkada nanti. Ekspektasi saya adalah agar teman-teman bersedia menganalisis program-program yang dijanjikan oleh kedua cagub jika bermaksud untuk memilih. Waspadalah terhadap cagub yang menawarkan program-program yang mengawang-awang. Dan satu lagi, jika teman-teman yang merasa memiliki kedekatan ideologi dengan partai tertentu yang mendukung cagub dan cawagub, saya sungguh mengharapkan agar rasio mengalahkan emosional teman-teman jika memang teman-teman merasa bahwa janji-janji mereka tidak feasible karena kita semua tentu mengharapkan Jakarta yang lebih baik lagi.

Well, Can You Fight Nature?

Three weeks ago I and friends of mine of OPK committee went to the zoo. We had fun together looking at ‘wild’ animals walking around and licking cars mirror. However, not to Rayhan whose car licked by an animal looked like a camel, he just screamed and shouted at this animal. At that time, I was really looking forward to seeing tiger and lion since this was the second time I went to the zoo after 15 years, perhaps, I don’t know the number for sure. Once I arrived at the palace of the king of the jungle I was really amazed at these living creatures’ fierce look. But question in my head enlightens me to ask “can they eat vegetables, instead of meat which means have to kill other animals?” The same kind of question applied when I gaze at other animals, like deer, camels, bears, etc. I asked again, “can they just eat what they are used to eating. For instance, deer eat mice or fish, or bears eat nuts, etc, etc…”
Those questions inspire my thought that you can’t fight the nature as Spinoza, a jewish philosopher, said. Why don’t you just think about for a second if fierceness of tiger and lion just enable them to eat grass like a cow? It would be funny and silly, it doesn’t fit at all. It’s the same when you think that sun rises from the east and humans try to convert it to the west. There are lots of nature-more powerful things than human so that no matter how smart humans are, we are not capable of changing nature, not a nuclear part of it, as the objective of science suggests that “…….so that we can control nature…”. Well, can you fight nature? It’s not worth even a shot, is it?




“1% Bakat + 99% Kerja Keras = The Greatest”

The greatest man on his field tidak timbul dengan tangan halus, rambut yang selalu tertata rapi dan wangi bunga mawar atau bunga-bunga lainnya, stamina yang segar bugar karena sehari tidur 7-8 jam sehari, otak yang masih fresh karena tidak pernah membaca buku atau berpikir tentang hal yang berat regardless kemampuan otaknya karena mungkin setiap hari kerjaannya hanya menonton sinetron atau sekalipun film hollywood yang hanya ecek-ecek yang bukan kelas oscar yang mungkin anak SD pun malah tertawa karena seringkali tidak masuk akal dan irreasonable. The greatest man on his field timbul dengan tangan yang kasar karena dia mungkin sering memukul-mukul meja atau benda apapun karena dia sering menemui keulitan ketika sedang berpikir namun tidak pernah menyerah sampai akhirnya dia berhasil, dia mungkin tidak akan punya waktu yang banyak untuk selalu memperhatikan kerapihan dan penampilan rambutnya karena menurut mereka mungkin yang paling penting adalah apa yang ada di bawah rambut itu, mereka mungkin saja tidak memiliki kondisi tubuh seperti orang normal lainnnya sebab dia mungkin hanya tidur kurang dari 4 jam sehari oleh karena ketika his peers tertidur lelap, dia mungkin sedang belajar, berpikir, atau memecahkan masalah yang mungkin efeknya tidak akan timbul dalam waktu yang dekat, mungkin ketika temannya membicarakan sesuatu hal yang simpel dia bisa saja tidak nyambung dengan apa yang mereka bicarakan karena mungkin dia sedang memikirkan hal lain yang menarik minatnya, yang tentu saja, yang berhubungan dengan bidang yang sedang digelutinya yang membuatnya a way ahead, otaknya butek, keruh karena terlalu sering digunakan tidak seperti sebagian besat orang Indonesia dan saya sendiri yang otak dan hati masih belum nyambung yang kata Prof Sri Edi terkena penyakit malas berpikir dan yang sedihnya bangga sekali hanya menjadi konsumen, dia mungkin tidak tahu siapa artis yang paling terkenal saat ini, film apa yang menjadi pembicaraan banyak orang dan menjadi phenomenon of the year.
Bila kita melihat orang-orang besar di berbagai bidang, seperti Albert Einstein, Grigori Perelman, John von Neumann, John Maynard Keynes, Soekarno, Bill Clinton, George Soros, Donald Trump, dan masih banyak lagi yang lainnya, yang menjadi pertanyaan adalah ‘bagaimana bisa’, iya kan? Apakah karena kapasitas otaknya yang berbeda dengan orang-orang ‘normal’ lainnya? Apakah karena mereka ‘jewish’ ? Pertanyaan yang terakhir, jawabannya bisa benar tapi bisa juga salah, kenapa bisa benar, lalu kenapa bisa salah? Dapat dikatakan benar karena memang benar orang-orang terbaik di hampir seluruh bidang adalah keturunan yahudi. Lihat saja Albert Einstein, orang yang disebut-sebut sebagai the best scientist in the world , Grigori Perelman yang berhasil memecahkan salah satu misteri dalam matematika, George Soros yang dapat dikatakan sebagai dewa dalam bidang finansial yang dengan permainan indahnya dapat menghancurkan perekonomian sebuah negara, David Beckham yang merupakan pesepakbola paling terkenal di dunia. Mereka semua merupakan keturunan Yahudi yang juga meruapakan ras Yesus Kristus. Lalu apa hubungannya? Hubungannya adalah jika kita melihat isi alkitab kita akan menemukan bahwa berungakali dikatakan orang Yahudi atau Israel meruapakan umat kesayangan Tuhan. Jadi bila kita melihat hubungan ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa memang ada faktor X dari apa yang membedakan mereka dengan sesama rekan seprofesinya, yaitu otak yang hanya dapat ditentukan oleh keinginan dari Tuhan. Mungkin bila orang lain melihat angka-angka, orang biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama atau masih berada dalam average , namun orang yang ‘tidak normal’ akan dengan mudah memainkannya, kenapa mereka bisa seperti itu? Jawabannya adalah karena otak mereka berbeda! Sangat simpel jawabannya bukan. Namun bisa saja salah, bila kita melihat contoh John Maynard Keynes yang disebut-sebut sebagai ekonom terhebat di era modern, Bill Gates sebagai orang hebat yang mendirikan perusahaan Microsoft, Aristoteles yang merupakan filsuf terhebat dan terbesar sepanjang masa, dan masih banyak lainnya. Mungkin benar bila dikatakan bahwa orang terhehebat di bidangnya masing-masing yang keturunan Yahudi lebih banyak daripada mereka yang bukan, namun setidaknya ini membuktikan bahwa orang dari keturunan ras manapun bisa saja menjadi orang terhebat di bidangnya masing-masing. Lalu, seperti sebelumnya, mengapa mereka yang bukan keturunan Yahudi bisa? Menurut saya jawabannya adalah karena mereka menyadari apa yang menjadi minat terbesar mereka dan menggunakannya sebagai dorongan untuk menguasainya dan menjadi yang terbaik diantara yang terbaik, mereka mengorbankan waktu bermain, menonton, bercengkrama dengan teman-temannya, untuk berusaha keras untuk menjadi yang terbaik sebab mereka berpkiran waktu 24 jam sehari yang mereka miliki sama dengan apa yang dimiliki oleh rekan-rekannya sehingga apa yang membedakan mereka dengan rekan lainnya adalah seberapa banyak mereka memanfaatkannya. Jadi menurut saya bakat alam atau otak yang cemerlang hanya memainkan peranan yang sangat sedikit atas kehebatan seseorang karena saya sebagai orang yang percaya kepada Tuhan yakin bahwa Tuhan pasti adil bagi semua umatnya, dalam artian otaknya mungkin tidak terlalu jauh berbeda dengan yang lain, jadi terserah kepada passion dari tiap orang untuk mau berusaha, contohnya adalah banyak orang India, Jepang, China yang menjadi insinyur, dokter, atau ekonom yang hebat. Mereka bukanlah orang Yahudi! Namun, mereka mampu.
Coba kita renungkan dan bayangkan apa yang akan terjadi pada bangsa ini apabila setengah saja dari total penduduk bangsa Indonesia mau bekerja keras dengan mengorbankan waktu tidur, bermain, menonton, dan ngalor-ngidul ndak jelas untuk mau belajar dalam bidangnya masing-masing, entah itu dia adalah seorang artis, ekonom, insinyur, ilmuwan, musikus, penulis novel, pesepakbola profesional, etc. Kita pasti akan melihat bangsa yang kompetitif dan maju secara moral dan skill. Kita akan dapat melihat banyak orang Indonesia yang bermain dalam film-film hollywood, kita akan dapat melihat orang Indonesia meraih hadiah nobel bidang ekonomi atau menjadi staf pengajar kelas atas di MIT, Harvard, Princeton dan universitas-universitas top di dunia, kita akan juga dapat melihat bangsa ini mampu menciptakan satelit sendiri, kita akan dapat melihat orang Indonesia meraih penghargaan Grammy yang prestisius itu, kita akan dapat melihat orang Indonesia yang mampu mengalahkan JK Rowling sebagai penulis novel terkaya di dunia, lalu kita juga akan mampu menikmati sepak terjang Budi, Tono, Ujang bermain di MU, Juve, Real Madrid dan bahkan mungkin Indonesia menjadi juara dunia. Bila melihat daftar panjang ini orang lain yang tidak punya harapan, mungkin akan berkata ini hanya mimpi di siang hari yang tidak mungkin terwujud menjadi kenyataan, namun bagi saya yang percaya mimpi bisa menjadi kenyataan, ini tidak mustahil untuk dilakukan. Ini semua dapat terjadi namun mungkin hanya soal waktu saja.
Finally, mimpilah setinggi-tingginya karena tanpa mimpi Soekarno, Indonesia mungkin masih diajajah hingga saat ini, Einstein tidak akan pernah menjadi seorang Ilmuwan terbesar di dunia, dan masih banyak lagi contoh orang-orang besar yang tidak akan menjadi seperti apa yang mereka miliki tanpa mimpi. Percayalah bahwa bakat hanyalah 1% dalam menjamin seseorang untuk dapat sukses dan sisanya 99% kerja keras!


Wednesday, September 26, 2007

My House of Thought Has been Built!

Well, my long waiting to release my thinking in my small head has stop. Eventually, I can create this blog, after several months contemplating about not regretting wasting my time at laptop 'just' to create this blog. I would try to practice my english by writing every single writing in english.
 Hopefully, after creating my own
blog, I can be more active to write which I think could help me in becoming a great economist. Amen!