“Politicians attempt to build a bridge, while there is no river”
-Nikita Kruschev-
Here is my article posted on Mading eksternal BOE. It's about pesimism of development of
Jakarta, even with the new governor
Memasuki awal bulan Agustus, tepatnya tanggal 8 Agustus, penduduk kota Jakarta akan dihadapi dengan pesta demokrasi terbesar di Ibukota Indonesia ini. Mereka akan memilih gubernur beserta wakil gubernurnya. Mereka yang akan memilih pastilah berharap bahwa gubernur terpilih akan berbuat sesuatu yang lebih baik lagi bagi pembangunan kota Jakarta, terutama dalam mengatasi banjir dan pendidikan murah bahkan gratis. Saya sendiri sebetulnya selain mengharapkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau bahkan kalau bisa gratis, juga berharap agar gubernur DKI Jakarta yang baru nanti dapat melakukan pemerataan pembangunan dengan memperhatikan slump areas yang berada di tengah-tengah kota, yang berada di belakang gedung-gedung bertingkat dan berpendingin udara, yang berada di belakang kompleks perumahan elit. Kenapa? Karena saya merasa bahwa DKI Jakarta melangkah terlalu cepat dari yang seharusnya. Sungguh ironi ketika kita melihat perumahan kumuh di belakang mal-mal dan ketika kita melihat penduduk yang terpinggirkan dari kota Jakarta itu sedang mandi dan gosok gigi di kali yang juga digunakan untuk mencuci baju.
The bridge is in your dream
Berharap sih boleh saja, tetapi jangan berharap terlalu banyak karena kalau tidak terjadi akan sakit hati sendiri, bukankah begitu yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari? Kutipan dari Nikita Kruschev setidaknya mengingatkan kita bahwa sesungguhnya hampir sebagian besar politisi hanya mengeluarkan janji-janji surga, tetapi perbuatannya membuat kita seperti berada di neraka. Well, mungkin kata-kata saya berlebihan, tetapi saya rasa itu memang sering terjadi di Indonesia, sehingga saya merasa bahwa kutipan tersebut sangat relevan menjelang pilkada Jakarta bulan Agustus nanti.
Jika nanti gubernur terpilih nanti benar-benar melakukan apa yang dijanjikannya, namun tidak sepenuhnya, maka kita harus waspada bahwa separuh janji yang telah dilaksanakannya itu hanyalah untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Menurut saya, kita harus sungguh-sungguh memperhatikan apa yang mereka lakukan terhadap pendidikan dan kesejahteraan orang kecil. Jangan sampai kita melihat lagi sekolah yang digusur oleh karena wilayah tempat sekolah itu berdiri merupakan wilayah bisnis dan pemda DKI merasa bahwa opportunity cost-nya terlalu besar hanya untuk membangun sebuah sekolah.
Sepertinya saya terlalu pesimis terhadap kedua calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) yang akan bertarung nanti. Tetapi, saya rasa pesimisme yang saya utarakan ini tidak terlalu berlebihan karena tiga alasan. Pertama dan yang utama, saya tidak melihat bahwa kedua calon gubernur, yaitu Fauzi Bowo dan Adang Darajatun melakukan sesuatu yang sangat berarti terhadap Jakarta sebelum masa pemerintahan Sutiyoso berakhir atau sebelumnya (mungkin saya dan semoga salah). Oleh sebab itu, seringkali saya tertawa geli jika melihat mereka mengunjungi atau menyumbangkan sesuatu bagi rakyat kecil. Tetapi, mungkin saja mereka melakukan sesuatu yang berguna dan signifikan terhadap Jakarta tercinta, namun tidak diliput media. Yah, hitung-hitung mengurangi kadar pesimisme saya.
Alasan kedua adalah mereka takut terhadap dan tidak mendukung calon independen. Ini menunjukkan sportivitas mereka yang buruk. Banyak penduduk Jakarta sangat menyayangkan dan kecewa ketika mereka langsung mendaftarkan diri ke KPUD Jakarta ketika proses tuntutan agar calon independen diperbolehkan ikut serta dalam pilkada masih berlangsung. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa mereka takut terhadap calon independen jika mereka yakin bahwa mereka memiliki dukungan kuat dari penduduk Jakarta? Memang secara logika akan lebih baik jika memiliki lebih sedikit saingan, namun saya rasa jawaban yang tepat adalah mereka khawatir bahwa penduduk Jakarta yang sudah muak dengan partai politik akan lebih memilih calon independen, terbukti berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh LSI, yaitu bahwa penduduk Jakarta sekitar 59% lebih menginginkan calon independen, apalagi diantara calon independen tersebut terdapat seorang pengamat ekonomi yang sudah dikenal sebagai orang yang bersih dan jujur.
Yang terakhir adalah kesenangan mereka melakukan berbagai pelanggaran terhadap peraturan kampanye, baik yang tertulis maupun tidak. Mereka melakukan pawai dalam kampanye, padahal itu melanggar perda DKI Jakarta dan mereka juga melakukan black campaign terhadap lawannya masing-masing.
Semoga tidak terjadi!
Terdapat alasan yang kuat mengapa, menurut saya, mereka tidak akan terlalu bersemangat untuk mengembangkan dan menyejahterakan rakyat kecil yang umumnya tidak memilki tingkat pendidikan yang tinggi, yaitu sebab “in general the higher the education and intelligence of individual becomes, the more their views and tastes are differentiated amd the less likely they are to agree on a particular hierarchy of values,” (Hayek, 1944). Akan tetapi, saya yakin teman-teman juga berharap seperti saya bahwa ini tidak akan terjadi dan program pendidikan murah yang sudah dilaksanakan pada masa pemerintahan Gubernur Sutiyoso akan terus dilanjutkan agar nantinya mereka yang tadinya tidak dapat sekolah karena mahalnya biaya pendidikan akan dapat menjadi pintar dan handal agar mereka mendapatkan pekerjaan yang layak dan tidak menjadi pengangguran yang dapat memaksa mereka menjadi penjahat atau pengemis.
Penutup
Meskipun kedua cagub yang sekarang kurang meyakinkan berdasarkan ketiga alasan yang saya kemukakan, namun kita tidak boleh apatis sebab jika kita apatis mereka bisa menjelma menjadi suatu pemerintahan yang cenderung otoriter. Kita harus tetap mengontrol dan memastikan bahwa mereka tidak akan lagi menggusur para pedagang kaki lima tanpa memberikan lahan dagangan yang baru, membangun mal-mal tanpa memberdayakan daya beli (purchasing power) dan kesejahteraan masyarakat kecil.
Tulisan ini tidak bermaksud mengajak teman-teman memilih cagub tertentu, mendiskreditkan calon tertentu, atau menyerukan golput dalam pilkada nanti. Ekspektasi saya adalah agar teman-teman bersedia menganalisis program-program yang dijanjikan oleh kedua cagub jika bermaksud untuk memilih. Waspadalah terhadap cagub yang menawarkan program-program yang mengawang-awang. Dan satu lagi, jika teman-teman yang merasa memiliki kedekatan ideologi dengan partai tertentu yang mendukung cagub dan cawagub, saya sungguh mengharapkan agar rasio mengalahkan emosional teman-teman jika memang teman-teman merasa bahwa janji-janji mereka tidak feasible karena kita semua tentu mengharapkan Jakarta yang lebih baik lagi.