Current condition in BEM UI is that there is a disagreement among them, if I may say so, which states Pusgerak should be at the same level with other social and politics division since when it is above them, it's difficult to get demonstrations done because it takes long time for Pusgerak to rationalize the argument required. Here is my thought about this.!
Di dalam suatu negara, terlepas dari paradigma politik apa yang dianutnya, mahasiswa merupakan suatu golongan istimewa yang memiliki tanggung jawab yang besar, apalagi di suatu negara demokrasi yang memiliki tingkat partisipasi rakyat yang kecil dalam pendidikan tinggi. Kenapa? Hal ini disebabkan oleh adanya probabilita deviasi pemerintah dan badan legislator yang mewakili di tataran kekuasaan tertinggi dari tugas idealnya, yaitu melaksanakan kehendak umum yang dianggap baik oleh rakyat pada umumnya. Lebih penting lagi, yaitu karena dalam kasus negara demokrasi, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Kedua kondisi tersebut dapat menjadi argumen yang fundamental bagi mahasiswa sebagai suatu golongan yang istimewa, karena mereka dianggap sebagai suatu kumpulan massa yang memiliki tingkat intelegensi di atas rata-rata serta ketidakberpihakan kepada pihak manapun kecuali rakyat kecil.
Lalu, pertanyaannya sekarang adalah apakah semua mahasiswa itu termasuk golongan intelektual? Bila mengacu pada Antonio Gramsci, jawabannya adalah tidak, sebab menurutnya seseorang dapat dikatakan sebagai seorang intelektual bila dia mengamalkan ilmu yang dimilikinya dan menerapkannya dalam tataran praksis, yaitu untuk suatu pergerakan, tentu saja, yang memihak kepada rakyat kecil. Lalu mengapa golongan intelektual begitu penting? Gunnar Myrdal merasionalisasi pentingnya golongan intelektual dengan mengatakan: “The intellectuals are not in the same way [as other people] part of class society...above society. This makes it possible for them to look with less passion and prejudice on the ongoing struggles.”
Lalu pertanyaan yang selanjutnya sekarang adalah apakah peran mahasiswa di Indonesia, yang merupakan negara demokrasi, begitu signifikan? Seberapa pentingkah mahasiswa menganggap peran sebagai, katakanlah, supervisor dalam keberlangsungan hidup pemerintahan di negara ini?
Sekelumit Sejarah Pergerakan
Peran yang dijalankan oleh mahasiswa di Indonesia begitu signifikan sehingga selalu mewarnai dua dari tiga orde dalam sejarah bangsa ini, yaitu mulai dari pengajuan tritura pada pertengahan tahun 1960-an yang dapat dikatakan memberikan efek pada mundurnya Bung Karno pada masa orde lama; pada masa orde baru Malari 1974, yang menunjukkan penolakan mahasiswa terhadap masuknya modal asing, khususnya dari Jepang ketika itu, dan reformasi Mei ’98, yang menunjukkan rasa muak kepada Soeharto beserta kroni-kroninya yang mencapai titik kulminasinya dan berujung pada mundurnya Soeharto, turut memberikan warna tersendiri pada sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia.
Ketiga peristiwa pergerakan mayor tersebut hanya mengambil sekelumit gambaran dari betapa aksi-aksi demonstrasi selalu menghiasi setiap langkah kebijakan yang diambil yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Mahasiswa sebagai Watchdog
Mengapa suatu pemerintahan yang berbentuk demokrasi diyakini oleh sebagian besar pemikir politik dan praktisi pemerintahan sebagai bentuk pemerintahan yang paling baik? Dilihat dari tataran filosofisnya, argumen tersebut dapat dibenarkan dengan definisi demokrasi yang merupakan suatu hak bagi seluruh warga suatu negara tanpa pandang bulu dalam mendapatkan share dalam kekuasaan politik, yaitu hak untuk dapat memilih dan dipilih. Selain itu, data empiris juga mendukung klaim tersebut dengan menyampaikan fakta bahwa negara-negara yang paling maju di dunia juga merupakan negara-negara yang paling sukses dalam menjalankan demokrasinya.
Namun apakah demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang sempurna? Rousseau meragukannya dengan mengatakan bahwa rakyat seringkali ditipu oleh pemerintah dan legislator sehingga tampaknya mereka menginginkan yang buruk baginya. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa tidak ada yang lebih berbahaya daripada pengaruh kepentingan-kepentingan pribadi dalam urusan-urusan umum, dan penyalahgunaan undang-undang oleh pemerintah tidak seberapa jika dibandingkan dengan kebobrokan legislator, yang merupakan akibat pandangan-pandangan pribadi. Prediksi-prediksi yang disampaikan oleh Rousseau beberapa abad yang lalu itu ternyata masih relevan bagi Indonesia hingga saat ini.
Melihat begitu banyaknya celah yang dapat menyengsarakan rakyat pada Indonesia dan yang memang sudah terbukti mendasari argumen diperlukannya suatu pengawas atau anjing penjaga (watch dog) untuk mengawasi berjalannya pemerintahan yang ideal bagi masyarakat Indonesia. Argumen kenapa mahasiswa yang harus memikul tanggung jawab yang besar dan mulia ini telah disebutkan sebelumnya. Pertanyaan yang mengemuka selanjutnya adalah bagaimana mahasiswa melakukannya? Ada beberapa cara yang lazim diutarakan. Yang pertama adalah dengan melakukan demonstrasi dengan berteriak-teriak di jalan-jalan dan menuntut ini-itu kepada pemerintah atau lembaga terkait. Cara yang kedua adalah dengan melakukan lobi-lobi kepada anggota dewan yang ‘terhormat’ dan menghindarkan cara konfrontasi.
Pentingnya Rasionalisasi Gerakan!
Sebagian besar mahasiswa setelah era reformasi menganggap bahwa aksi turun ke jalan menuntut aspirasi rakyat kecil dalam mengawasi tindak-tanduk pemerintah dan lembaga tinggi negara lainnya merupakan cara yang sudah usang. Mereka lebih cenderung menganggap bahwa lobi-lobi ke gedung DPR/MPR lebih intelek dalam menyuarakan aspirasi rakyat kecil. Saya sendiri sebetulnya lebih prefer kepada cara yang kedua, dengan asumsi anggota DPR mendengarkan dengan sungguh-sungguh aspirasi mahasiswa, sebab lebih efektif dalam menyuarakan aspirasi dari mahasiswa, namun apa lacur ternyata berdasarkan pengalaman rekan-rekan saya di pusgerak BEM UI, para anggota DPR tersebut tidak menanggapi dengan baik, entah karena menganggap kredibilitas mahasiswa yang masih rendah atau justru karena mereka sendiri tidak mengerti pokok permasalahan yang sedang diadvokasi. Namun, saya rasa alasan kedua yang paling tepat. Sebagian sangat besar dari mereka tidak memiliki kapabilitas dan kapasitas intelektual yang mumpuni untuk dapat melayani tuntutan dari mahasiswa.
Lalu, jika sudah demikian apakah aksi turun ke jalan secara relatif lebih efektif? Untuk beberapa kondisi, iya sebab dengan turun ke jalan melakukan demonstrasi, kita berperan sebagai pengingat pemerintah yang telah keluar dari jalurnya. Kondisi tersebut adalah ketika sebelumnya telah dilakukan kajian yang mendalam mengenai isu yang akan disuarakan di jalan nantinya sebagai dasar rasionalisasi; ketika isu tersebut sudah disuarakan melalui dengar pendapat di gedung DPR/MPR; dan ketika isu tersebut sangat krusial dan mendesak sehingga tidak memungkinkan dilakukannya kajian yang mendalam. Namun, seperti sulitnya mendefinisikan time period dari short run dan long run, kita pun kesulitan dalam mendefinisikan keterdesakan yang dimaksud sehingga berujung pada aksi turun ke jalan.
Kita juga harus dapat belajar dari kesalahan masa lalu, yaitu ketika mahasiswa melakukan aksi demonstrasi pada pertengahan tahun 1960-an yang berujung pada mundurnya Bung Karno dan peristiwa Malari ’74. Mundurnya Bung Karno justru digantikan oleh pemimpin otoriter lainnya, yaitu Soeharto yang akhirnya berkuasa selama 31 tahun; Malari ’74 yang berujung pada kerusuhan justru merugikan rakyat kecil. Padahal, jika dilihat secara seksama, sebetulnya ketika itu Jepang bukanlah investor asing terbesar di Indonesia, melainkan Amerika Serikat.
Oleh sebab itu, ketika sebagian aktivis mahasiswa yang pro pergerakan melalui demonstrasi mencibir para penggodok isu di BEM UI yang terlalu lama mengkaji suatu isu, mereka seharusnya malu kepada diri mereka sendiri ketika mereka hanya bergerak berdasarkan emosi sesaat sebab telah dikatakan sebelumnya bahwa mahasiswa memiliki kapasitas intelektual di atas rata-rata yang sudah selayaknyalah bertumpu kepada daya nalar. Namun, bukan berarti daya nalar diatas segala-galanya dalam bergerak, sebab terkadang emosi juga diperlukan dalam bergerak yang bila tidak ada lagi, setiap pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa seakan tidak memiliki hati lagi.
Penutup
Melihat begitu banyaknya kebijakan-kebijakan publik dan undang-undang yang kurang berpihak kepada rakyat kecil, baik secara langsung maupun tidak, gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa masih sangat esensial dalam menentukan arah bangsa ini seperti yang dikatakan oleh Aristoteles dalam “Politics”: “no regime could satisfy man completely, and that the dissatisfaction would lead men to replace one regime with another in an endless cycle.” Oleh sebab itu, mahasiswa harus senantiasa bergerak mengingatkan pemerintah melalui berbagai cara agar pemerintah selalu ingat akan tugasnya yang paling utama, yaitu menyejahterakan rakyatnya.
1 comment:
Tulisan bagus armand, sayangnya mahasiswa itu tidak selalu rasional,
selalu ada sempalan yang emosi, atau titipan dari parpol dan golongan.
(1) BEM sudah bukan seperti jaman Soe hok gie, atau jaman sebelum Rama dulu, sejak jaman saya sekitar taun 2000 sudah terlihat kecenderunganya sama partai. Skenario nya jelas.
(2) Kritik saya sih demonstrasi, turun ke jalan, Mahasiswa sekarang jadi pasaran sekaligus jadi mantra, seolah olah watch dog dari surga, tak ada cacatnya,padahal ketiga hal ini heterogen dari universitas gak jelas dimana sampe tukang becak,orang bayaran dipakein jaket lah, etc. Kalau memang BEM UI berbeda, seharusnya bisa spesialisasi, demonstrasi yang santun, jangan goyang2 pagar,Lebih banyak lah bikin dialog besar di kampus yang bukan jadi event organizer saja. Jadi mahasiswa yang turun ke jalan itu mahasiswa yang tau yang dia mau, yang ia perjuangkan.
Post a Comment